marquee

Silih Asih ku Pangarti, Silih Asah ku Pangabisa, Silih Asuh ku Pangaweruh

Selasa, 10 Maret 2015

Gunung Munara : Menikmati Ketinggian di Rumpin Bogor



Top Munara (Photo by : Hasbi)


Gunung Munara, ada yang tahu teman pembaca?

Iya, gunung ini memang tak seterkenal Gede-Pangarango ataupun Salak yang sama-sama berada di Bogor. Sebenarnya saya pun tahu baru 2 minggu sebelum perjalanan saya ke gunung ini. Berawal dari foto-foto yang di share para penghuni Lantern House (sebut saja jajaka Sunda "Danceu", pace keturunan Sunda yang numpang lahir dan hidup di Papua "Givan", dan keturunan Muara Enim yang sering ngaku orang Palembang "Ari"). Bagi saya, foto-foto mereka itu bagaikan racun mematikan yang siap menyiksa batin saya ketika saya tak dapat mencapainya. Sialnya, mereka ngeracun secara terus menerus di saat saya terpenjara dalam rutinitas pekerjaan, puas kalian! ah sakitnya tuh di sini *nunjuk jantung terdalam*.

Dan batin saya yang tersiksa itu berakhir di tanggal 21 Januari 2015. Kegiatan Rapat Dewan Pengurus Pelita membuat kesempatan saya untuk mencapai Munara tak sebatas angan saja. Fieldtrip para pejuang jingga pasca RDP itu yah ke Munara. "Horeeeeeeee, cukup sekian mereka bertiga meracun di galery wasap henpon gue". 

Perjalanan di awali dengan perjalanan bareng kuda bermotor kami *saya nebeng di bebep Danceu yah sodara*. Jalanan yang berdebu, berlubang, berkelok-kelok, serta banyaknya mobil-mobil truk pengangkut pasir menjadi sahabat kami menuju Munara. Dibutuhkan sejam dari LH yang bertempat  di Tanah Sareal untuk sampai di ujung perjalanan kuda bermesin kami. Dengan daypack si Imut RaceX, langkah kami pun perlahan mencari arahnya sendiri. 

Jalanan cenderung landai (di awal doang), menelusuri perkebunan penduduk, jalan setapak pun menjadi satu-satu jalan kami. Di bawah bayar Rp 5.000 untuk motor dan pengendara beserta yang boncengnya. Di atas diminta lagi loh sama penduduk karena udah masuk ke wilayah perkebunan mereka (tarif seikhlasnya, kalau gak ikhlas ya dipaksa buat ikhlas). Padahal berdasarkan cerita dari 3 orang penyebar racun sebelumnya, gak ada pungutan apapun di hari biasa (ya mungkin karena hari ini adalah hari minggu). 

Di jalur (Photo by : Danceu)
(masih) di tempat yang disakralkan (Photo by : Danceu)
Becek-becek, lanjut terus [katanya] (Photo by: Danceu)

Gaya cenderung memaksa (Photo by: Danceu)

Cukup 2 jam untuk mencapai puncak munara (itu udah sama foto-foto, ketawa2, sama saling nunggu loh!). Melewati berbagai tempat yang disakralkan oleh masyarakat (terlihat dari banyaknya bekas sesajen masyarakat yang tak dibereskan) sampai akhirnya perjalanan terhenti ketika melihat jalur batu yang siap menerkam di depan. Jalur batu tanpa pengaman dengan kemiringan hampir 45 derajat. Dengan perlengkapan perwebbingan kami, maka kesafetyan kami lebih bagus daripada tidak memakai tali sama sekali. 

Tidak semua ikut naik menuju Top pertama ini (karena ada Top kedua dan ketiga saudara pembaca). Saya pun harus mengorbankan tangan saya lecet (sampe bajunya sobek di bagian lengan kanan) karena terpeleset di batu yang menjadi satu-satunya jalur menuju Top. Jalur yang ekstrem memang sebanding dengan pemandangan yang ditawarkan oleh alam secara alamiah kepada saya. Pemandangan bukit di sebrang Munara, kehijauan yang ditawarkan di sekeliling, serta senyum para teman berjalan membuat suasana semakin istimewa. 

Top Munara Pertama (Photo by: Hasbi)

Keindahan di Rumpin Bogor (Photo by: Hasbi)

Terimakasih kaki (Photo by: Hasbi)

Puas untuk foto-foto di atas, matahari yang semakin condong ke barat, memaksa saya untuk turun dan melanjutkan ke puncak lainnya. Perjalanan turun menuruni tebing batu itu lebih sulit daripada naik (bingung turunnya deh, serius!). Karena para srikandi jingga yang hendak ke puncak dua dan tiga itu cuma saya dan Maya, okelah.. gue jalan duluan yah. Maklumlah jalannya kan kayak keong, gak kayak yang lain. Ditemani seorang jingga di samping saya (nama dirahasiakan), kembalilah kaki saya melangkah menaiki jalanan tanah yang licin. Kecepetan mungkin, "yang lain kemana? ambil keputusan, balik apa lanjut". Iyah, saya dibiarkan jalan berdua tanpa ada batang hidung yang lainnya menyusul. "Okeh lanjut, abis foto-foto langsung turun!". Ketakutan saya karena gak ada yang nyusul lagi ternyata tak sesuai dengan realita, buktinya gak lama diam di puncak, jingga yang lain pun menyusul "Alhamdulillah".

Bersama kuncen Dempo (Photo by: Maya)

Yes, mission complete (Photo by: Maya)

Atur posisi gaeesss (Selfie by: Maya)


Jalur menuju puncak kedua memang tak sesulit puncak pertama. Iyah, puncak ketiganya itu yang sesuatu. 

"Naik hampir jatoh, turun harus digendong orang"

Langit yang sudah mulai gelap memaksa kami untuk segera turun. Keterbatasan penerangan dan kondisi kami yang sudah bercampur lumpur dan keringat, menjadikan kami harus sedikit mempercepat langkah kami. Terbukti, sebelum sampai di parkiran kuda bermesin kami, gelap tak bisa ditahan-tahan kedatangannya. 

Perjalanan kami memang terbatas, tapi cukuplah mengukir sebuah kebersamaan yang akan terkenang dalam kenangan kami masing-masing. Gunung Munara menjadi sebuah tempat yang masih dilestarikan oleh masyarakat setempat karena kesakralannya. Sebuah cagar budaya yang dilindungi oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Bogor membuat masyarakat lebih menghargai keberadaan sejarah dengan peninggalan-peninggalannya. Cerita kehidupan di masa lampau tak hanya berakhir di sebuah cerita saja, akan tetapi menjadi sebuah pelajaran hidup berharga yang diberikan semesta kepada manusia di muka bumi. 

Yuk, lindungi Gunung Munara (Photo by: Fanci)


Terimakasih Tuhan....
Terimakasih teman berjalan...
Terimakasih jingga... 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar