marquee

Silih Asih ku Pangarti, Silih Asah ku Pangabisa, Silih Asuh ku Pangaweruh

Sabtu, 07 Maret 2015

Pergantian Tahun di Gunung Berbatu

Bersama para kuda bermesin kami (Photo by : Adji Kembara)
31 Desember 2014

RideX (tanpa nama, sampe sekarang aja belum nemu nama yang cocok buat doi) yang biasa disebut kuda bermesin inventaris Pelita milik Ketua Umum ini melaju bergegas ke Barat dari Selatan Karawang. Tetap dengan gaya OKE ala Pendaki Gunung Amatiran yang bercampur debu jalanan, sampailah kami di daerah yang mendadak terkenal gara-gara adanya "Si Wakwaw" (tebak sendiri lah, pada hafal kan!). Perhitungan yang salah, dan ke-sok-tauan kami (iyah, gue sama Hasbi) menjadikan kami terlambat sampai di meeting point dengan para jingga yang lain. 

Bermodalkan peta offline HP dan informasi via WhatsApp, dengan wajah tanpa dosa bercampur senyuman manis dan disambut gerimis, sampailah kami di warung pojok (entah siapa yang ngasih nama warung pojok). Salaman dengan basa-basi busuk serta jutaan alasan keterlambatan cukuplah membuat kami berdua jadi bahan cibiran dengan alasan keterlambatan (katanya cuma setengah jam, gak taunya.... "sorry guys, miskom sama petanya" :))

Setelah semua team terkumpul, saatnya cuss... Konfoi para kuda bermesin ini mengundang temannya si gerimis tadi datang. Yaaaaa, lagi-lagi kami terpaksa berhenti dengan alasan hujan (katanya, hujan-hujan lanjut terus... "sorry, gak berlaku di sini yah guys"! #noted). Gak lama sih, setelah sedikit mereda bergegaslah kami melanjutkan perjalanan. 

"Eland di mana???"  "Udah duluan" Yaaaa... Bapak kuncen Dempo itu melaju begitu saja, sampai-sampai tidak tahu kalau tempat yang dituju sudah terlewat. Kami adalah tim yang malas mencari, maka kami sepakat menanti para bapak-bapak kelewatan itu sadar sendiri jikalau di belakang mereka sudah tidak ada kami. 

**setengah jam kemudian** taraaaaaaa... tuh mereka datang. 

Penyimpanan para kuda bermesin kami adalah salah satu hal yang diprioritaskan. Dengan bermodalkan pengalaman dan informasi dari si teteh warung, maka saya, Dani, Ode, dan Bang Adji bergegas pergi ke rumah pak RT (kalau inget proses pencarian jalan ke rumah pak RT-nya, di situ kadang saya merasa sedih).

"Tempatnya bersih, dan saya suka"

Memulai perjalanan (Photo by ; Adji Kembara)


Singkat cerita..., saatnya kami bersiap untuk bercinta dengan jalanan yang sudah dicumbu oleh hujan sebelummya. 

Kabut yang tebal serta gerimis yang setia datang adalah teman setia perjalanan kami. "Mana Gunung Batunya??? pliiiis, mata gue belum bisa menemukan jejaknya". Perjalanan berbatu yang sudah tersusun rapih *cihuuuuuy, treknya woles banget* (padahal awalnya doang, sungguh menipu). Di salah satu percabangan, mulailah awal tanjakan yang sebenar-benarnya. Gak ada bonus, yang ada punggungan dipenuhi ilalang. Tak lama memang waktu kami untuk sampai di tempat yang menjadi tempat kami menginap nanti (bukan hotel yah, tapi lahan yang sedikit datar untuk tenda-tenda kami berdiri). 

Salah satu cara bersyukur adalah menikmati hidup (Photo by: Adji Kembara)

Bergegas mendirikan tenda, membuat bivak untuk barang-barang kami, dan memasak air adalah pembagian tugas kami saat itu. Keadaan cuaca yang gerimis, dan suhu yang dingin membuat semuanya harus dikerjakan secara segera. 

Bersama si solo dan si kwartet (Photo by : Danceu)
Setelah semuanya selesai, menikmati sunset (walau gak keliatan karena mendung), serta persiapan shalat magrib berjamaah adalah kegiatan kami selanjutnya. Dengan pencahayaan dari headlamp dan senter-senter kami, anugrah menikmati alam itu tak bisa diurai oleh ucapan biasa. Cukuplah mata, hati, dan jiwa kami yang dapat merasakan keindahan dan ketentramannya.

Shalat magrib berjamaah (Photo by : Adji Kembara)


Menyantap makanan enak ala koki rimba menjadi kegiatan kami selanjutnya. Berbagai macam makanan yang sudah dimasak (gue juga ikut masak loh, beneran ini. Iya kan bang Adji!) siap diterkam para jingga yang sudah kelaparan. Dengan alas daun pisang bercampur air asli langit (lagi-lagi), makam malam pun berasa berbeda dari biasanya. Dinner ala pejuang jingga, begitulah katanya.

Dinner ala Pejuang Jingga (Photo by : Adji Kembara)

***Malam Terakhir di 2014***

Perkenalan dan berbagi pengalaman bersama para jingga serta kerabat jingga menjadikan malam terakhir kami di 2014 itu berbeda. Pelajaran dari pengalaman seseorang menjadikan kami manusia yang tak pernah bosan untuk belajar. Diselingi candaan dan tawa bahagia, langit pun seakan ikut senang dengan memberhentikan airnya turun ke bumi. Ya, kami adalah kelompok yang dipersatukan oleh warna jingga menyala. Walaupun kami berasal dari suku yang berbeda, tetaplah kami di sini adalah satu. Ya, menjadi satu makhluk yang tidak akan pernah berhenti memuji-Nya. 

Langit yang mulai mendatangkan bintang walau masih berselimut kabut pekat, gugusan perbukitan yang samar-samar terlihat, serta letusan kembang api di penjuru negeri membuat malam penghujung tahun ini semakin dinikmati. Meninggalkan hal yang harus ditinggalkan, dan kembali mengejar segala hal yang harus dikejar adalah harapan untuk tahun baru. Kami tidak merayakan malam pergantian tahun dengan poya-poya, kami hanya bermuhasabah, mencoba memperbaiki diri untuk meningkatkan kualitas kehidupan kami. Semua kembali kepada perspektif setiap manusia memandang tahun baru itu. 

***Selamat malam para pejuang jingga, Happy new years 2015*** 
(masuk tenda, tutup tenda, masuk sleeping bag, tidur).


Selamat pagi bumi, terimakasih untuk bau tanah kesegarannya...

Bahagia itu sederhana (Photo by : Ode)

Pagi itu, mendadak para jingga yang tidur di luar raib tanpa jejak. Kemana mereka pergi? Ternyata hujan dini hari tadi memaksa mereka untuk merebahkan tubuh-tubuh mereka dengan atap tenda. Bergegas memasak sarapan dan air hangat, suhunya memang gak woles saudara. 

Menikmati pagi (Photo by : Danceu)

Hari mulai terang. Matahari sudah kembali menyapa bumi yang basah dari kemarin. Perjalanan menggapai puncak Gunung Batu menjadi agenda hari pertama di 2015 ini. Segala perlengkapan telah siap, mari berdoa. 

Menuju Top Gunung Batu (Photo by : Givan)


Hujan kemarin menjadikan jalanan amat sangat licin (hati-hati yah saudara... kanan kiri jurang loh). Tali, webbing serta para jingga yang setia menopang kami, membantu kami berjalan, dan membangunkan kami tatkala terjatuh (terimakasih yah jingga).  Keindahan adalah suatu anugrah Tuhan yang tiada dua. 

"Bagiku, coretan pena adalah salah satu ungkapan keindahan"


Balada pena kusam (Photo by : Givan)

Gunung batu mempunyai daya tariknya tersendiri. Jalur yang cukup ekstrim menuju puncaknya serta pemandangan yang susah diungkap oleh bahasa menjadikan gunung ini berhasil mencuri hati saya untuk mencintainya. Walaupun masih ditemukan hasil tangan-tangan yang jahil menyakiti batu-batunya.
Engkau adalah tumpah darahku (Photo by : Hasbi)


Top Gunung Batu (Photo by : Ode)

Dan yang tak bisa saya lupakan di sini, adalah pertemuan kami dengan burung predator yang susah untuk ditemukan di habitatnya. Ya, rejeki anak-anak baik seperti kami adalah bertemu Elang yang sedang bertengger di pohon, serta melihatnya terbang di atas kami adalah sebuah anugrah Sang Penguasa Alam. Cukuplah bagi kami untuk melihat tanpa mengusiknya.

"Aku adalah seekor rajawali yang tak pernah mencaci maki takdir"

Aku adalah seekor elang (Photo by : Ode)

Elang (Photo by : Ode)

Gunung batu menjadi cerita, pergantian tahun berasa sangat berharga, kebersamaan yang merupakan anugrah Tuhan memang sudah sepatutnya untuk disyukuri. Mencintai alam adalah pilihan kami, karena alam pun sudah sangat mencintai kami. Perjalanan menjadikan kami manusia yang memandang syukur itu dari sisi yang lain. Dengan hal itu memberitahu kami bahwa kebagaiaan itu tak hanya dari sesuatu ternilai materi duniawi, cukuplah yang mendinginkan mata, dan menenangkan jiwa.



Sampai jumpaaaaaa (Photo by : Ode)


Terimakasih Tuhan....
Terimakasih teman berjalan...
Terimakasih jingga...
Terimakasih semesta...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar