marquee

Silih Asih ku Pangarti, Silih Asah ku Pangabisa, Silih Asuh ku Pangaweruh

Selasa, 03 Maret 2015

Dempo, Menapak Dua Puncak Sumatera Selatan

Tiket Sinar Dempo Executive Class Bus (Photo by : Alin)

17 Desember 2014

**Pagi di Karawang...**

Pagi itu tak seperti biasanya, yang biasa bangun (ke)siang(an) ataupun sekedar leye-leye di kamar. Maklumlah, pekerjaan mengolah nilai dan rekapitulasi segala macamnya sudah selesai diberikan kepada para wali kelas masing-masing. Carriel 40L dan si imut 12L sudah siap menjadi teman sekaligus sahabat perjalanan saya kali ini. 

Diantar sang bapak tercinta ke tempat perlintasan bus (sampe Interchange Karawang doang kok, gak sampe Kp. Rambutan) cukup membuat hari itu semakin istimewa. Diantar dengan restu dan doa orang tua itu jarang-jarang loh untuk anak ilang yang susah pulang seperti saya. Bersama bus Agra Mas jurusan Karawang-Kp. Rambutan sampailah saya di tempat yang sudah disepakati dengan teman berjalan saya yg lainnya. Iya, di deket Pool Bus Sinar Dempo sebelum jam 10.00 WIB, iya, ini masih jam 09.00 WIB loh, maklumlah... jalan tol hari itu lancar pake banget. 

Teman berjalan saya kali ini adalah bersama bapak adat Saiful Amin Zay (Ode), dan seorang anggota muda yang langsung saya angkat jadi porter Pelita yang selalu gagal jadi guide, Ramdee (Ari), tak lupa Hamda "Si beruang musi" dan kakaks Hendra Nugraha "Si jutek tapi penakut". Petualangan pun dimulai ketika bus Sinar Dempo kelas Executive (katanya) dengan Nopol BG 7027 W memasuki wilayah terminal tempat kami menunggu.


Bus Sinar Dempo (Photo by: Alin)

Tepat jam 11.00 (waktu jam tangan saya), cusss.... bus pun bergegas keluar terminal. Diselingi obrolan kecil bersama bapak adat, memberi kabar pada orang rumah, chat sana-sini, nikmatlah perjalanan kali ini. "Berapa jam sampai Pagaralam?" "Yaaaa, sekitar 24 jam lah", Whaaaatttt??? akaran nih di jok bus, okeh, nikmati dan gak boleh protes.

Selfie-an dulu (Selfie by : Ode)



Lapor, Bapak Adat sedang tertidur, sekian! (Selfie by : Alin)

Senja di Selat Sunda...

Senja di depan mata, jalanan ujung barat Jawa pun berganti lautan. Tepat pukul 16.00 WIB, kami pun sampai di Pelabuhan Merak. Hei matahari, terimakasih untuk cerahnya :) Optimis dapat sunset indah, nikmat mana yang kau dustakan wahai para orang yang susah pulang? Mau pake kelas bisnis alias ngadem di ruangan ber-AC kapal, atau? Yaaa..kami sepakat memilih untuk diam di ujung belakang kapal, tanpa AC, tanpa alas yang bersih, tanpa TV dengan film2 khas bioskop, cukup beralas lantai kapal dengan sesekali naik motor (orang) dan beratapkan matahari, ya kami menikmati itu semua. Jingga senja itu menjadi incaran lensa-lensa kami. Narsis bersama perlangkapan keeksisan kami, yaaaa hidup itu untuk dinikmati.

Gaya Band Melayu 90-an katanya, (Selfie by : Ode)
Full Team (Selfie by : Ode)
Merah Putih adalah identitas kami (Photo by : Ode)
Numpang duduk di motor orang (Photo by : Alin)
Siluet gagal (Photo by : Hendra)
Si Imut RaceX saya (Photo by : Alin)
Senja menjadi sebuah anugrah semesta yang keindahannya tak terungkap. Ya, kekuasaan Allah menciptakan alam dengan segala keelokan dan keajaibannya. Semburat garis jingga di barat yang diselingi lalu lalang kapal yang membelah ombak, sangat lebih dari cukup memanjakan indra penglihatan kami. Hai bumi, terimakasih, hai langit, arigato :)


We Love Indonesia (Photo by : Alin)

Kumandang adzan magrib menyambut kedatangan kapal kami di Pelabuhan Bakauheni, Provinsi Lampung. Bergegaslah kami menuju bus yang hendak mengantar kami ke salah satu provinsi di Pulau Andalas ini.

Laju bus semakin cepat dari sore tadi. Makan malam di Lampung menjadi ajang pelurusan otot-otot saya yang mulai protes. Kejahilan teman-teman berjalan saya menjadi warna tersendiri. Ya mau bagaimana lagi, si pemegang uang selalu kabur di awal tatkala makan, dan si korban makanan terakhir harus menanggung imbasnya *bete gue kalo inget edisi ini* :(

Tidur, yaaaa rasanya memejamkan mata, istirahat, menanti kecerahan yang semesta berikan esok hari adalah pilihan yang tepat. Membuat badan senyaman mungkin dengan keterbatasan tempat yang ada. Yaaaaaa.. selamat malam teman berjalan :*

Dalam setengah sadar saya, dan ini masih dini hari. Kedua teman saya pun turun di daerah Baturaja, ya mereka turun di sini. Ini hutan dan mereka turun? hati-hati yaaaaah... khawatir? enggak usah deh. Melanjutkan kembali mimpi yang tertunda dan menanti kabar mereka esok hari menjadi pilihan yang lebih menarik. *sletingkan kembali jaket*


**Pagi Pagar Alam... Welcome to Pagaralam, Kota Besemah :)**


Welcome to Pagaralam

Setelah melewati hutan rimba, jalanan berliku, dan pemukiman penduduk dengan susunan struktur rumah yang khas ala Sumatera Selatan sampailah kami di gerbang Kota Pagaralam. Ya jalanan menanjak, berliku, pinggir kiri tebing, dan di kanan jurang menganga memaksa saya untuk menahan nafas cukup lama ketika bentrokan antara dua mobil berukuran besar tidak terelekan. Yaaaa, bus kami harus sedikit meminggirkan posisinya (jangan pinggir2 pak, jurang ituuuu, JURANG). Terlepas dari ketegangan saya (ya, kayaknya gue doang yang tegang), pemandangan tebing dan hutan hijau tak boleh dilewatkan di sini. Welcome to Pagaralam, Kota Besemah :)


Tepat pukul 11.00 WIB, sampailah bus yang kami tumpangi di sarangnya. Iya, sampailah kami di Kota Pagaralam. Naik angkot? Ojek? yaaaa... jalan kaki lah lay... Alfamart, ATM, dan counter pulsa untuk menghubungi Kak Lendri (Kakak dari Kak Eland Cadass Putra Dempo), juragan tanah yang rumahnya hendak kami jadikan tempat singgah nanti.


**Singkat Cerita**
Packing untuk pendakian esok hari selesai... ^_^

Bersama kak Lendri (Selfie by ; Alin)


Paginya, rombongan adik-adik sepupu kak Lendri yang ceritanya akan menemani kami mendaki Dempo hari ini sudah bersiap. Ya, jalur akan kami lalui adalah JALUR RIMAU. Jalur yang kata akamsi lebih dekat menuju puncak walau sedikit terjal, sedikit??? gak salah???.

Tugu Rimau (Photo by : Ari)

Start awal pendakian (Photo by : Ari)


Bismillah....

Biru langit, hamparan kebun teh, sinyal 3G indosat, dan teman berjalan adalah sambutan paling menyenangkan pagi itu. Terimakasih Tuhan untuk nikmat hari ini :)

Perlahan, selangkah demi selangkah, kaki ini membuat ritme jalannya sendiri. Yaaaa, akamsi yang menemani kami bertiga jalannya cepat sekali, dan secepat itu pula mereka berhenti. Menunggu mereka di pos adalah hal yang kami biasakan, gak enak sama orang rumah yang nitipin kami (siapa yg nitip? siapa yg dititipin?), walau yang ditunggu selalu meninggalkan kami, ya sudahlah, da aku mah apa atuh :(

Selfie-an di Pos 2 (Selfie by : Alin)
Becek, badai, kabut, dan gerimis (Selfie by : Alin)
Walau sampai akhirnya kami bertiga sampai puncak terlebih dahulu (yang ninggalin kami kenapa jadi di belakang? entahlah), Setidaknya kami mempunyai waktu berleye-leye lebih lama di Puncak Dempo. Tak begitu lama memang waktu yang dibutuhkan untuk mencapai puncak ini, ya setidaknya kami masih diberi cahaya matahari ketika sampai di sini. Walau kabut, gerimis, bahkan jalur yang becek dan gak woles menjadi teman abadi kami.

Full Team (Selfie by ; Alin)
Top Dempo (Selfie by : Alin)
Bersama porter yang selalu gagal jadi guide (Selfie by : Ari)

Tujuan akhir perjalanan hari ini adalah pelataran yang akan menjadi tempat camp kami. Okeh, masih harus berjalan di antara rimbunnya hutan hujan tropis khas Indonesia. Jalur yang mulai menurun menjadikan saya harus bersiap lebih ekstra mengatur langkah si dengkul, maklumlah, sudah mulai keropos kayaknya. Dan (lagi), kami ditinggalkan oleh para akamsi yang sudah terlebih dahulu turun menuju pelataran. Hati-hati bagi yang tidak tahu jalan ke palataran, salah ambil jalur bisa-bisa kembali ke hutan dan sampai di kampung ampat (jalur satunya lagi menuju Dempo). Dari arah Jalur Rimau, arah pelataran itu adalah jalur ke kanan, bukan yang lurus. Jikalau teman-teman semua mengambil arah yang lurus, maka jalur menuju kampung ampat lah yang akan teman-teman lalui.

Menuju pelataran tak membutuhkan waktu yang lama, cukup setengah jam saja. Alhamdulillah... pelataran di depan mata (walau hujan memaksa kami untuk duduk sejenak menggelar flysheet sebelum menyebrang sungai kecil), akamsinya kemana? duluan saudara-saudara...

Pelataran dipenuhi pohon kerdil sejenis cantigi dan di sudut-sudutnya banyak lahan dengan susunan batu melingkar rapih (katanya kuburan leluhur Dempo) yang dipercaya sebagai penjaga kelestarian alam di atap Sumatera Selatan ini.

Mendirikan tenda, membuat teh panas, dan mengganti baju kami yang sudah bercampur air hujan cukuplah menjadikan perjalanan kami berwarna (badainya gak woles, sumpah!). Dinginnya suhu di luar, hangatnya kebersamaan diselingi teh panas dan canda tawa ringan membuat saya antipati untuk keluar tenda.


**Pagi hari, di Pelataran**
Rencana summit mengejar sunrise gagal total. Walau sudah dipaksakan bangun pagi, tetaplah badai belum berlalu. Hujan angin disertai kabut tebal memaksa kami melepas kesempatan mengejar sunrise Dempo (gak akan keliatan sunrisenya juga, serius deh, kabutnya tebel pake banget). Memilih kembali memanjakan diri dalam selimut hangat bernama sleeping bag made in Indonesia itu menjadi sebuah pilihan yang menurut saya paling tepat. Badai yang tak kunjung berhenti membuat kumandang adzan terdengar di penjuru palataran. Salah satu budaya yang terus dipelihara para pendaki Dempo adalah mengumandangkan adzan ketika badai datang (katanya dapat memberhentikan badai).

Jam 10.00 badai mulai berhenti, sayang kalau harus dilewatkan summit menuju Puncak Marapi. Dempo adalah gunung dengan dua puncak utamanya. Puncak Dempo yang kemarin kami lewati, dan Puncak Marapi yang hendak kami daki. Waktu dari pelataran sampai ke Puncak Marapi adalah 30-60 menit perjalanan. Ya tergantung kecepatan kaki masing-masing. Gak ada jalur pasti, yang ada punggungan penuh cabang diantara pohon kayu panjang umur yang menjadi incaran pendaki sebagai oleh-oleh khas Gunung Dempo.

Membidik garis lurus, kami bertiga pun perlahan mendaki punggungan dengan jalur batu berpasir itu. "Di atas ada kawah, jadi struktur tanahnya berbeda". Pemandangan yang elok (walau masih berhias kabut tebal), cukup memanjakan mata saya. Luasnya alam semesta, hamparan savana pelataran adalah keindahan yang sulit diungkap bahasa.

Top Marapi, Full Team (Selfie by: Ode)


Tumpukan Batu yang katanya Makam Leluhur Dempo (Photo by : Alin)
Ode di Top Marapi (Photo by : Alin)

Marapi, dengan kawah berwarna hijau (karena musim hujan, dan kebetulan lagi hijau, biasanya abu katanya) menjadi pemandangan mata telanjang saya (eh pake kacamata deng). Kabut yang susah beranjak dan matahari yang tepat di atas kepala, membuat kami harus mencari moment terbaik mengabadikan setiap keindahan yang kami dapat di atas. Oke, fiks... gue doang yang dapet foto dengan backround kawah. Gak ada moment cerah lagi saudara-saudara... :D

Alin di Top Marapi (Photo by : Ari)

Kawah Marapi (Photo by : Alin)
Marapi menjadi saksi. Dempo menjadi sebuah untaian cerita kehidupan yang tak ternilai rupiah. Ya, pengalaman hidup akan menjadi guru berharga dalam proses memperbaiki diri menjadi manusia yang seutuhnya hakikat manusia. Bumi bersaksi, langit berjanji, bahwa manusia berada dalam setiap alur skenario kehidupan yang sudah sempurna diatur Illahi. Tak ada yang luput dari desain yang diciptaan-Nya.

Mata air Dempo

Terimakasih Allah atas ridhonya..

Terimakasih mamah dan bapak atas ijinnya...
Terimakasih Keluarga Bang Lendri dan Kak Eland...
Terimakasih teman berjalan... ^_^


Keluarga Bang Lendri

Selfie-an Keluarga Baru :) (Selfie by : Ode)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar