marquee

Silih Asih ku Pangarti, Silih Asah ku Pangabisa, Silih Asuh ku Pangaweruh

Rabu, 04 Maret 2015

Pulau Kemaro, Delta Kecil Sungai Musi

Palembang, 26 Desember 2014

Ampera dari Tengah Sungai Musi (Photo by : Ode)

Siang ini Palembang seakan menjadi sebuah kota dengan intensitas panas matahari berlevel AWAS. Ah, sungguh kota ini tak lebih panas dari Jakarta atau Karawang sekalipun. Kesejukan kota sebelumnya yang dikunjungi membuat saya sedikit ngarumas di kota dengan ikon Jembatan Ampera yang membelah jalanan di atas Sungai Musi.

Pinggiran Sungai Musi memang menjadi tempat yang cocok untuk memancing ikan atau sekedar nongkrong-nongkrong cantik sambil menanti matahari terbenam di barat. Di antar angkot dengan playlist "Duri Terlindung"nya Nike Ardila, sampailah 5 orang anak ilang yang gak pada pengen pulang (red: Bapak Adat "Ode", Porter yang selalu gagal jadi Guide "Ramdee alias Ari", Si Beruang Musi "Hamda", Kakak Jutek yang agak penakut "Hendra" dan saya sendiri wanita paling tangguh di antara semua "Alin"). Selain kami berlima, ada juga tiga orang akamsi yang katanya terlibat cinta segitiga (ceritanya menyusul).

Lobi-melobi di kota orang adalah tugas pribumi, saya lebih memilih diam seribu bahasa untuk hal yang satu ini (efek belum lancar ngomong pake bahasa pribumi). Oke, dengan uang sebesar Rp 150.000 untuk semua, kami pun dapat menaiki perahu melawan arus Musi menuju sebuah delta kecil berpagoda sembilan lantai. Perahu yang ditawarkan di Sungai Musi ini adalah perahu biasa dan speed boat. Perahu yang kami sewa adalah perahu dengan kecepatan biasa, yang dipilih dengan alasan agar lebih lama menikmati perjalanan dan irit uang, dan selanjutnya mulailah perjalanan kami ke Pulau Kemaro, sebuah delta kecil di Sungai Musi. 

Para anak ilang yang susah pulang (Photo by : Ode)

Perahu kecil ini pun bergegas ke hulu, melawan arus aliran Sungai Musi. Dengan mesin berbahan bakar solar, sang nahkoda pun sudah lihai mengemudikan perahu menuju delta kecil yang penuh dengan cerita legenda Tan Bun An dan Siti Fatimah. 

Suasana panas matahari yang masih menyengat, dan pemandangan kanan-kiri yang didominasi bangunan terapung serta kapal-kapal pengangkut barang menjadi daya tarik tersendiri bagi saya. Biasa naik perahu sekitaran Danau Cirata doang atuh aku mah. 

Hanya butuh sekitar 1 jam untuk kami sampai di Pulau Kemaro. Dermaga yang sudah didesain rapih untuk para wisatawan membuat anda tak usah khawatir untuk turun dengan aman dari perahu. Suasana hijau tanpa polusi cukup membawa angin segar selama berjalan kaki di pulau ini. Ya, inilah lahan hijau Palembang saudara!. 

Welcome to Kemaro Island (Photo by : Ari)
Yang ditawarkan oleh pulau ini adalah Klenteng Hok Tjing Rio yang merupakan kuil tempat beribadahnya umat Budha, serta Pagoda berlantai sembilan yang menjulang tinggi di tengah-tengah pulau. Suasana pinggiran Sungai Musi pun memberikan keistimewaan tersendiri bagi para pengunjung Pulau Kemaro ini. 

Klenteng Pulau Kemaro (Photo by : Ari)
Pagoda 9 Lantai Pulau Kemaro (Photo by : Ode)
Alin in Action (Photo by : Hamda)
Full Team (Selfie by : Ode)

Tersenyum bersama Budha (Photo by : Ode)
Jika berkunjung ke Kemaro, jangan lupa untuk membaca dan memahami folklore yang menjadi legenda asal mulanya pulau ini. Sebuah cerita rakyat mengenao seorang tokoh dari negeri Cina bernama Tan Bun An yang mencintai gadis pribumi bernama Siti Fatimah. Kisah cinta mereka yang berakhir tragis membuat pulau ini menjadi ikon kesucian cinta sampai akhirnya pulau ini disebut juga pulau jodoh (yang kesini bawa pasangan dan nulis di pohon cinta bakal dapat jodoh katanya, gue bawa 4 abang-abang doang, mana dapet jodoh disini!). Oke kembali fokus, Pulau Kemaro asal bahasanya dari Pulau Kemarau [katanya]. Disebut pulau kemaro karena kecenderungan orang Palembang berbicara dengan akhir katanya menggunakan vokal 'o'. Dan alasan nama pulau ini adalah kemaro/kemarau itu adalah karena pulau ini walaupun berada di aliran Sungai Musi, tapi tidak pernah tergenang sekalipun volume air sungai ini meningkat. 

Dermaga Pulau Kemaro (Photo by : Ode)
Matahari yang mulai tenggelam di barat, memaksa kami untuk mengakhiri perjalanan kali ini (kasian emang-emang perahunya nunggu lama). Menikmati sunset di aliran Sungai Musi adalah sebuah anugrah Tuhan yang tak boleh dilewatkan. Lampu-lampu kota pinggiran sungai pun sudah mulai menyala. Kelap-kelip lampu Ampera pun menjadi keindahan yang tak bisa ditolak akal sehat. 

Ampera malam hari (Photo by : Alin)
Perjalanan pulang memang lebih sebentar (kata emang perahunya sih karena gak ngelawan arus), oke, dimengerti. Selanjutnya tinggal menikmati malam pinggiran Ampera sambil menikmati kulineran khas Palembang "Oke, selamat menikmati pempek dan tekwan teman berjalan" :))










Tidak ada komentar:

Posting Komentar